To ensure you have the best experience and security possible, update your browser. Update now
“What was the best coffee you ever had..?” (John Basilone, The Pacific part 7)
Ada beberapa kutipan yang saya inget dari film The Pacific, salah satunya waktu John Basilone ngobrol sama calon istrinya (yang nantinya jadi janda muda) di dapur barak. Salah satu obrolan santainya nyerempet soal kopi, kata si John Basilone di film ini kopi terenak yang pernah dia rasain adalah kopi yang diberikan oleh sersannya setelah kemenangannya di Guadalcanal. Kondisinya, badan memar – memar gak berbentuk, tangannya kena luka bakar, tanpa tidur sehari semalam, dan kemudian seseorang memberinya kopi, kopi hitam hambar disajikan di gelas kaleng ala militer. Kopi tereenak yang pernah dia rasakan. Ah, you see.. Bukan karena kopinya yang merupakan biji kopi pilihan (….? Kaya iklan..) tapi karena kondisi dan momen nya yang membuat kopi hambar menjadi kopi starbucks.
Momen bisa merubah setangkai bunga melebihi indahnya “Summer Palace”. Momen bisa merubah sebatang roko lebih nikmat dari cerutu kuba. Mengubah hal kecil menjadi keajaiban dunia.
Best coffee moment for me ?
Kondisinya kurang lebih seperti ini, suhu waktu itu mungkin 9 – 10 derajat celsius, jaket dan kaos kaki basah karena kehujanan saat di perjalanan, badan mengigil. Spontan saya meraih sebungkus roko yang saya simpan di saku jaket. Firasat kurang baik, bungkusnya terasa lembab dan sudah rusak. Dan memang benar, setelah saya buka dan liat isinya, kertas – kertas roko sudah jadi bubur dan tembakau – tembakaunya bertebaran. Lalu kemudian, seorang teman datang sambil membukakan bungkus rokonya seraya menawarkan roko. When I light it, It was honestly the best cigarette I ever had. Penggalan kisah sewaktu saya dan teman saya naik ke Gunung Slamet saat berisitrahat di Pos 6.
Hmm.. I guess it’s right. You appreciate things when you’re suffering. :D
Seorang pemilik toko mengirim puteranya untuk belajar tentang rahasia kebahagiaan dari pria yang paling bijaksana di dunia. Si bocah mengembara, menyeberangi gurun selama empatpuluh hari, dan akhirnya sampailah dia kesatu istana yang indah, tinggi di puncak gunung. Di sanalah orang bijak itu tinggal.
"Tanpa mencari orang bijak itu dulu, pahlawan kita langsung saja memasuki ruang utama istana itu, melihat macam-macam kegiatan: para pedagang datang dan pergi, orang-orang berbincang di sudut-sudut, orkestra kecil memainkan musik yang lembut, dan ada sebuah meja yang dipenuhi piring-piring makanan terlezat yang ada di belahan dunia tersebut. Si orang bijak bercakap-cakap dengan setiap orang, dan si anak harus menunggu selama dua jam sebelum akhirnya dia mendapat perhatian orang itu.
Orang bijak itu mendengarkan dengan penuh perhatian keterangan si anak tentang alasan dia datang, tapi berkata bahwa dia tidak punya waktu untuk menerangkan rahasia kebahagiaan. Dia menyarankan anak itu untuk melihat-lihat istana dan kembali dalam dua jam.
"'Sambil kamu melihat-lihat, aku ingin kamu melakukan sesuatu untukku,' kata orang bijak itu, menyodorkan sendok teh berisi dua tetes minyak. 'Sambil kamu keliling, bawalah sendok ini tanpa menumpahkan minyaknya.'"
"Anak tadi mulai naik turun tangga-tangga istana, dengan pandangan tetap ke arah sendok itu. Satelah dua jam, dia kembali ke ruangan tempat si orang bijak berada.
"'Nah,' tanya orang bijak itu, 'apakah kamu melihat tapestri Persia yang tergantung di ruang makanku? Apakah kamu melihat taman yang ditata pakar pertamanan selama sepuluh tahun itu? Apakah kamu memperhatikan kertas kulit yang indah di perpustakaanku?
"Anak itu merasa malu, dan mengaku dia tidak memperhatikan apa-apa. Perhatiannya hanya tertuju pada minyak di sendok itu supaya tidak tumpah, seperti yang percayakan si orang bijak kepadanya.
"'Kembalilah dan perhatikan duniaku yang mengagumkan ini,' kata si orang bijak.
'Kamu tidak dapat mempercayai orang kalau kamu tidak tahu rumahnya.'
"Dengan lega, anak itu mengambil sendok tadi dan kembali menjelajahi istana itu, kali ini dia memperhatikan semua karya seni di atap dan dinding-dinding. Dia melihat taman-taman, pergunungan di sekelilingnya, bunga-bunga yang indah, dan mengagumi selera di balik pemilihan segenap hal yang ada di sana. Sekembalinya dia ke orang bijak itu, dia mengungkapkan secara terinci semua yang dilihatnya.
"'Tapi mana minyak yang kupercayakan padamu?' tanya si orang bijak.
"Memandang ke sendok yang dipegangnya, anak itu melihat minyak tadi telah
hilang.
"'Baiklah, hanya ada satu nasihat yang bisa kuberikan padamu,' kata manusia terbijak itu. 'Rahasia kebahagiaan adalah melihat semua keindahan dunia, dan tak pernah melupakan tetesan minyak di sendok."
Hmm.. kapan ya Indonesia bikin mini seri tentang perjuangan masa perang. Kebanyakan bikin mini seri perjuangan kehidupan (aka Sinetron). Padahal kalo bikin mini seri kaya "Band of Brothers" atau "The Pacific", bisa membangkitkan rasa patriotik dan rasa nasionalis bangsa Indonesia. :D
Perkiraan meleset, prediksi awal dalam 30 hari sudah beres semua pekerjaan. Ternyata, masih belum sempurna. Targetnya sebelum kepala BAPPEDA Medan berangkat haji, pekerjaan sudah kelar, tapi sudah seminggu kepala BAPPEDA berangkat pekerjaan belum juga beres. Kemarin dosen pembimbing datang ke Medan, niatnya mau ke wilayah Asahan untuk menyelesaikan urusan administrasi di sana jadi sekalian mampir, menjenguk kami ini yang sedang TA di Medan. Ternyata masih ada beberapa peta yang harus ditampilkan. Padahal, niatnya tanggal 18 sudah bisa bertolak ke Bandung kembali. Yeah, i wish.. :p Mungkin diundur untuk satu atau dua minggu lagi. Yah, mudah2an saja cukup seminggu lagi.
Sebulan lebih kami tidak menapakkan kaki di kota ini. Langkah pertama di kota ini dimulai dengan nada air dari langkah kaki ketika berjalan menapaki permukaan aspal Polonia. Ternyata malam pertama di kota ini diberkahi dengan hujan, hujan lebat dan berpetir. Memang terasa guncangan pada saat terjadi di udara, tapi untungnya pendaratan dilakukan dengan baik bahkan mendekati sempurna. Kata seorang teman saya “hujan membawa berkah” tapi sepertinya sudah gak berlaku untuk kota – kota besat. Pengalaman saya hidup di kota besar, hujan membawa dua hal, macet dan banjir. Terkecuali untuk orang yang beropini bahwa macet dan banjir adalah berkah, maka menurut saya opini hujan membawa berkah sudah tidak berdasarkan lagi (red-invalid). Hujan yang lebat dan petir yang dasyhat membuat kami terbirit - birit mecari perlindungan terdekat, dengan sigap kami lari menuju ruangan bandara. Di sana sudah menunggu satu orang utusan dari ‘kediaman’, figurnya kekar dan tinggi, orang terakhir dalam daftar ‘orang yang cari ribut. Tetapi begitu diminta untuk mengambil troley untuk bawaan barang kami, dalam waktu 2 menit dia sudah siap dengnan troley, padahal troley di Polonia bisa tergolong barang langka gara- gara sudah dibooking oleh courier – courier bandara. Hebat, patut diacungkan dua jempol memang didikkan TNI.
Suasana kota Medan malam hari, tidak membuat rindu memang, namun berbeda dengan kota Bandung jadi membuat saya selalu tertarik. Malam jam 7, kota Metropoloitan ke 3 Indonesia ini sudah tampak lengang dan gelap. Namun suasana malam ini sedikit berbeda, hujan yang membasahi jalanan kota Medan memantulkan cahaya dan nuansa lebih, membuat perjalanan 10 menit dari Polonia ke kediaman menjadi sangat tidak terasa, setangah hati rasanya turun dan meninggalkan suasana yang unik tadi.
Om saya menjemput saya dari kediaman Sudirman, senyum hangatnya yang menyambut kedatangan saya membuat ‘rumah’ baru di kota yang berjarak ratusan kilo dari ‘rumah’ saya yang asli. Yup, sepertinya selama saya di Medan ini saya tidak akan merasa jauh dari rumah. Suasana yang hangat dan nyaman ini akan saya jadikan fondasi yang kuat untuk menyelesaikan pekerjaan saya di sini.
Apabila ditanya mengenai kesibukkan.. sebenarnya banyak kesibukkan, bahkan terlampau banyak tugas dan kewjiban yang harus diselesaikan secepat mungkin.. Tapi, sepertinya hampa.. Otak dicekoki hal yang sama terus menerus!! Sangat berbahaya bermain terlalu lama di dalam kenyamanan akan kesibukkan ini! Harus memulai pencarian kegiatan lain di luar kesibukkan ini, anggap lah itu sebagai pelarian dari kegiatan – kegiatan berulang ini.. Sudah saatnya saya membeli buku baru, apa daya dana yang ada belum terkumpul.. (*sigh*) Yah, untuk saat ini, mari kembali ke kenyamanan yang disajikan oleh kesibukkan… :/